Self Blame: Mengapa Kita Menyalahkan Diri Sendiri?

Farhah Kamila
2 min readMay 10, 2020

--

Source: Tumblr.com

“Ya ampun kaya gini aja nggak bisa, bisanya apasih kamu?”

“Kalau gini aja gagal, pasti yang lainnya juga gagal deh!”

Pernahkah kamu mengucapkan kalimat seperti itu kepada dirimu? Ataukah kamu merupakan salah satu orang yang ketika terjadi suatu kesalahan akan menyalahkan diri sendiri?

Self blame atau menyalahkan diri sendiri merupakan salah satu penghinaan terhadap emosi yang paling beracun. Kenapa? Karena memperkuat kekurangan kita, entah kekurangan yang memang nyata atau hanya perasaan kita saja, menjadikan kita lemah dan tidak berdaya untuk bergerak maju.

Dalam kehidupan beragama, seperti yang kita ketahui kita selalu diberi nasihat untuk saling mengasihi dan berbelas kasih kepada sesama. Tapi kita seringkali gagal untuk menerapkannya kepada diri sendiri, yang seringkali muncul dalam bentuk menyalahkan diri sendiri.

Salah satu faktor yang signifikan yang menyebabkan kita sering menyalahkan diri adalah kita gagal untuk mengenali kemanusiaan diri kita. Seringkali kita ingin terlihat sempurna, dimata orang lain maupun untuk kepuasan diri. Sehingga kita melupakan bahwa kita adalah manusia, yang tidak sempurna didalam kemanusiaan kita.

Ketika kita, atau dunia dalam bayangan kita tidak berjalan sesuai dengan harapan, seringkali kita mengambil tanggung jawab atas kesalahan yang seharusnya bukan milik kita. Kegagalan yang muncul terkadang bukan sepenuhnya milik kita, yang kemudian membawa diri untuk menyalahkan diri sendiri.

Menyalahkan diri sendiri bisa bersifat merusak bagi psikologis, membuat kita lumpuh dari kebangkitan untuk terus maju. Bisa juga menjadika kita terjebak dalam zona nyaman-dimana kita merasa tidak mampu untuk melakukan apapun dan memakluminya. Perasaan ini juga mengantarkan kita pada perasaan malu, malu atas diri sendiri. Sehingga membuat kita menjadi pribadi yang selalu kurang, selalu rendah, tapi kurang dan rendah dari apa?

Apakah menyalahkan diri sendiri itu berbahaya? Berbahaya, ketika kita secara spontan langsung menyalahkan diri sendiri ketika suatu peristiwa negatif terjadi dan terjadi berulang kali. Hal ini menjadi maladaptif bahkan menjadi destruktif bagi sebagian orang. Bagi mereka yang menyalahkan diri, emosi, kognisi, atau perilaku yang mengganggu lainnya perlu untuk mencari penangangan secara profesional.

Mengakui kesalahan memang boleh, dan merasa bertanggung jawab atas sebuah kesalahan juga dapat membantu kita untuk melihat kembali pekerjaan yang telah kita lakukan bahkan dapat membantu kita untuk berkembang. Ketika dilakukan dalam dalam kondisi yang wajar, dan kita bersungguh-sungguh merasa bertanggung jawab, ini dapat menjadi emosi yang sehat.

Jadi ingat, menyalahkan diri sendiri berbeda dengan mengakui kesalahan. Lalu apa perbedaannya? Next time, kita bahas soal Menyalahkan Diri Sendiri VS Mengakui Kesalahan”.

“In order to love who you are, you cannot hate the experiences that shaped you” — Andrea Dykstra.

References:

Breitenbecher, K. H. R. (2006). The relationship among self-blame, psychological distress, and sexual victimization. Journal of Interpersonal Violence, 21, 597–611. https://doi.org/10.1177/0886260506286842.

Grayson, P. A. (1983). The self-criticism gambit: How to safeguard self-esteem through blaming the self. Individual Psychology, 39, 17–26.

--

--

Farhah Kamila
Farhah Kamila

Written by Farhah Kamila

Sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik

Responses (1)